Review Film Ronth (2025): Sebuah Malam Panjang yang Masih Terasa Hingga Kini

Ada satu hal yang selalu membuat saya jatuh hati pada film-film Malayalam: kesederhanaannya. Dari kehidupan sehari-hari, mereka bisa menghadirkan kisah yang begitu kuat, tanpa harus mengandalkan efek visual megah atau teknologi sinematik canggih. Itulah yang saya rasakan setelah menonton Ronth (2025), film terbaru karya Shahi Kabir. Sebuah film yang mungkin sederhana dari luar, tetapi meninggalkan rasa yang menghantui lama setelah selesai ditonton.

Malam yang Biasa, Tapi Tidak Pernah Biasa

Ketika saya mulai menonton Ronth, saya tidak punya ekspektasi berlebih. Ceritanya sederhana: dua polisi—Sub Inspector Yohannan (Dileesh Pothan) dan Civil Police Officer Dinanath (Roshan Mathew)—berpatroli di malam hari. Apa sih yang bisa terjadi? Paling hanya sekadar melihat aktivitas jalanan, atau menangani insiden-insiden kecil.

Ternyata saya salah. Malam itu berubah menjadi rangkaian peristiwa yang menegangkan sekaligus memilukan. Ada percobaan bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, hingga pasangan muda yang kabur dari rumah. Semua tampak seperti potret kehidupan sehari-hari di masyarakat, tapi setiap kejadian membawa konsekuensinya sendiri. Hingga akhirnya, Yohannan dan Dinanath terjebak dalam kasus yang lebih besar: mereka diframing atas pembunuhan, dan tiba-tiba hidup mereka diputarbalikkan oleh sistem yang seharusnya melindungi.

Sebagai penonton, saya merasa ikut duduk di dalam jeep patroli bersama mereka. Kamera yang dekat, suasana gelap malam, dan dialog realistis membuat saya merasa seperti saksi hidup dari setiap insiden. Ada momen ketika saya benar-benar lupa sedang menonton film, karena yang saya lihat terasa sangat nyata.

Kenapa Saya Suka Sinema Malayalam

Salah satu alasan kenapa saya suka film seperti Ronth adalah karena ia berani tampil apa adanya. Tidak ada ledakan spektakuler, tidak ada musik bombastis yang berusaha memaksa kita merasa sesuatu. Semua berjalan mengalir, alami, bahkan terkadang terasa lambat. Tapi justru di situlah kekuatannya.

Film ini memberi ruang untuk kita, penontonnya, ikut merasakan keresahan, kebingungan, bahkan rasa putus asa yang dialami para tokoh. Saya tidak melihat Yohannan dan Dinanath sebagai “pahlawan polisi” ala film-film komersial, melainkan sebagai manusia biasa yang sedang berjuang bertahan di tengah sistem yang tidak adil.

Dan saya kira, inilah yang membuat sinema Malayalam terasa berbeda. Ia tidak berusaha menjual mimpi, tapi mengajak kita menatap kenyataan, sekeras apa pun itu.

Tentang Nayattu dan Semesta yang Sama

Banyak yang menyebut Ronth sebagai semacam penerus spiritual dari Nayattu (2021), film lain karya Shahi Kabir. Jujur, saya belum menonton Nayattu. Tapi dari sedikit membaca ulasan, saya tahu bahwa keduanya sama-sama menyoroti realitas aparat kepolisian Kerala dan bagaimana mereka bisa terjebak dalam permainan politik.

Kalau Nayattu bercerita tentang pelarian, Ronth lebih intim—semua berlangsung dalam satu malam panjang yang penuh tekanan psikologis. Saya mungkin belum bisa membandingkan keduanya secara utuh, tapi saya bisa merasakan bahwa Ronth berdiri cukup kuat sebagai kisah mandiri. Justru setelah menontonnya, saya jadi penasaran untuk menonton Nayattu agar bisa memahami benang merah yang lebih luas.

Ending yang Menggantung

Saya paham kenapa sebagian penonton merasa ending Ronth itu nanggung. Tidak ada penjelasan panjang, tidak ada resolusi besar, semuanya berhenti begitu saja. Awalnya saya juga merasa sedikit frustrasi. Tapi semakin saya pikirkan, semakin saya sadar bahwa justru di situlah kekuatannya.

Ending yang menggantung itu seperti sebuah pesan: bahwa apa yang kita tonton bukanlah kisah fiksi yang selesai dalam dua jam, melainkan cerminan dari realita yang masih berlangsung sampai hari ini. Tidak ada akhir yang rapi, karena kehidupan nyata juga jarang memberi kita penutupan yang memuaskan.

Adegan terakhir Ronth membuat saya terdiam cukup lama. Ada rasa hampa, tapi sekaligus ada dorongan untuk merenung lebih jauh. Dan saya kira, itu jauh lebih berharga daripada sekadar ending bahagia atau penutup heroik.

Pesan Sosial yang Kuat

Bagi saya, Ronth bukan hanya cerita tentang dua polisi. Ia adalah potret masyarakat Kerala, bahkan bisa dibilang potret universal tentang bagaimana sistem bisa melukai orang-orang kecil yang terjebak di dalamnya.

Beberapa hal yang terasa menonjol:

1. Kerentanan aparat kecil.

Yohannan dan Dinanath hanyalah aparat lapangan, tapi ketika politik ikut campur, mereka jadi korban.

2. Masalah sosial berlapis.

Dari kekerasan domestik, percobaan bunuh diri, sampai pasangan kabur, semua itu nyata terjadi di sekitar kita.

3. Sistem hukum yang timpang.

Film ini dengan gamblang menunjukkan bagaimana hukum bisa dipelintir, bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk melayani kepentingan tertentu.

Saya merasa film ini tidak berteriak-teriak dalam menyampaikan kritiknya. Justru karena tenang dan realistis, pesannya jadi lebih membekas.

Bagaimana Kritikus dan Penonton Menyambutnya

Meski belum banyak dibicarakan di Indonesia, Ronth ternyata mendapat sambutan hangat di India. Banyak kritikus memberi nilai tinggi. Filmfare memberi 4/5, Indian Express menyebutnya slow-burn thriller yang kelam, dan The Times of India memberi 3.5/5.

Di forum-forum film, saya menemukan komentar yang menarik: ada penonton yang bilang bahwa adegan klimaksnya begitu traumatis, sampai terulang-ulang di kepalanya bahkan setelah film selesai. Saya bisa mengerti perasaan itu, karena saya pun sempat merasa terbawa emosi setelah menontonnya.

Refleksi Pribadi

Setelah film selesai, saya tidak langsung bisa move on. Rasa berat masih menempel. Saya jadi berpikir tentang bagaimana sering kali orang-orang kecil terseret masalah besar hanya karena mereka ada di posisi yang salah pada waktu yang salah. Dan itu bukan cuma cerita di Kerala—saya yakin di banyak tempat lain, termasuk di negara kita, situasi semacam ini juga bisa terjadi.

Bagi saya, film seperti Ronth penting karena ia mengingatkan kita bahwa sinema bukan hanya hiburan. Ia bisa jadi cermin, sekaligus pengingat bahwa ada hal-hal yang masih harus kita perbaiki dalam masyarakat.

Penutup

Ronth mungkin bukan film yang sempurna. Ada bagian yang terasa lambat, ada ending yang menggantung. Tapi justru karena itu, film ini terasa begitu manusiawi. Ia tidak mencoba menyenangkan semua orang, melainkan menyampaikan cerita dengan jujur apa adanya.

Saya rasa film ini layak ditonton, terutama bagi siapa pun yang ingin melihat sisi lain dari sinema India di luar Bollywood. Kalau kamu, seperti saya, suka dengan film yang sederhana tapi dalam, Ronth akan meninggalkan kesan yang lama.

Dan mungkin, sama seperti saya, setelah menontonnya kamu juga akan penasaran dengan Nayattu. Siapa tahu, itu akan membuka perspektif yang lebih luas tentang dunia yang sedang coba dipetakan Shahi Kabir melalui film-filmnya.

Akhir kata, Ronth adalah film yang mungkin sederhana di permukaan, tapi dampaknya begitu menghantui. Ia membuat saya sadar bahwa terkadang, cerita yang paling membekas bukanlah yang menawarkan jawaban, melainkan yang berani meninggalkan pertanyaan.