
Kali ini, saya mau Review Film Emergency (2024). Saya nonton beberapa waktu lalu.
Ada momen-momen dalam sejarah suatu bangsa yang selalu meninggalkan jejak panjang, bahkan puluhan tahun setelahnya. Di India, salah satu periode itu adalah masa darurat (The Emergency) tahun 1975–1977. Sebuah bab kelam ketika Perdana Menteri Indira Gandhi mengerahkan seluruh kekuasaan untuk menekan oposisi, membungkam pers, dan mengendalikan masyarakat dengan tangan besi.
Film Emergency (2024), yang ditulis, disutradarai, sekaligus dibintangi Kangana Ranaut, mencoba menghidupkan kembali periode kontroversial tersebut di layar lebar. Bukan tugas yang mudah, karena ini berarti berhadapan dengan sejarah yang masih menyisakan luka politik, sekaligus figur sebesar Indira Gandhi yang sampai kini tetap diperdebatkan — apakah beliau penyelamat bangsa atau diktator yang mengekang demokrasi.
Sebagai penonton yang gemar film bertema sejarah dan politik, saya cukup penasaran begitu mendengar kabar film ini. Apalagi Kangana Ranaut memang dikenal sebagai aktris dengan performa akting kuat, meski belakangan juga sering terlibat kontroversi di dunia nyata.
Latar Sejarah: Apa Itu The Emergency?
Untuk memahami film Emergency, sedikit kilas balik sejarah perlu diingat.
Pada 25 Juni 1975, Indira Gandhi mendeklarasikan keadaan darurat di India, yang berlangsung hingga Maret 1977. Alasan formalnya adalah “ancaman terhadap keamanan nasional”, tetapi banyak sejarawan menyebut bahwa keputusan itu juga terkait posisi politik Gandhi yang terancam oleh putusan pengadilan yang membatalkan kemenangannya dalam pemilu.
Selama 21 bulan darurat itu:
- Kebebasan pers dibatasi ketat. Media yang kritis dibungkam, banyak koran disensor.
- Tokoh oposisi ditangkap. Politisi seperti Jayaprakash Narayan, Morarji Desai, dan Atal Bihari Vajpayee ditahan tanpa proses hukum jelas.
- Kebijakan sosial kontroversial. Misalnya program sterilisasi massal yang dijalankan oleh Sanjay Gandhi, putra Indira Gandhi, dengan cara-cara represif.
- Pemerintah memperkuat kekuasaan eksekutif. Banyak keputusan strategis diambil tanpa mekanisme demokrasi.
Hasilnya: demokrasi India yang dikenal paling besar di dunia itu sempat runtuh dalam sekejap, dan masyarakat hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Inilah latar sejarah yang menjadi fondasi utama film Emergency.
Gambaran Film
Kangana Ranaut mengambil posisi ganda yang berat: sebagai sutradara dan sebagai pemeran utama Indira Gandhi. Film ini memusatkan cerita pada bagaimana Gandhi menghadapi tekanan politik, tuntutan oposisi, hingga dilema pribadi.
Selain Indira Gandhi, film ini juga menampilkan sejumlah tokoh penting:
- Anupam Kher sebagai Jayaprakash Narayan, ikon oposisi yang lantang menentang kebijakan darurat.
- Shreyas Talpade sebagai Atal Bihari Vajpayee, tokoh partai oposisi yang kelak menjadi Perdana Menteri India.
- Milind Soman sebagai Field Marshal SamManekshaw, salah satu jenderal paling dihormati India.
- Mahima Chaudhry sebagai Pupul Jayakar, sahabat dekat Indira Gandhi.
- Vishak Nair sebagai Sanjay Gandhi, putra Indira yang sering disebut “aktor bayangan” di balik kebijakan kontroversial.
Dengan susunan pemain yang kuat, film ini jelas ingin tampil bukan sekadar drama biografi, tapi juga sebuah thriller politik yang menggambarkan perebutan kekuasaan di balik layar.
Ulasan Film
1. Plot & Alur Cerita
Film Emergency berjalan melalui sudut pandang Indira Gandhi. Penonton diajak masuk ke ruang-ruang rapat kabinet, percakapan pribadi, hingga momen genting ketika keputusan darurat diumumkan.
Saya merasa film ini berusaha keras menjaga keseimbangan antara fakta sejarah dan dramatisasi. Ada bagian yang sangat intens, terutama saat Indira harus memilih antara mempertahankan kekuasaan atau mengikuti proses hukum. Namun ada juga adegan yang terasa terlalu teatrikal, seolah ingin menegaskan bahwa “inilah sisi gelap Gandhi”.
2. Akting
Nah, di sinilah saya cukup terkesan. Kangana Ranaut benar-benar menjiwai perannya. Cara bicaranya yang kaku, tatapan matanya yang penuh perhitungan, bahkan postur tubuhnya ketika berjalan, semua mendekati gambaran Indira Gandhi.
Saya pribadi suka bagaimana Kangana bisa menghadirkan sosok yang kompleks: di satu sisi tegas dan kejam sebagai pemimpin, tapi di sisi lain tetap seorang ibu dengan kerentanan emosional.
3. Sinematografi & Musik
Film ini tidak pelit dalam produksi. Tata artistik menampilkan India 1970-an dengan detail lumayan meyakinkan: ruang kabinet yang gelap, poster propaganda, hingga suasana jalanan yang mencekam. Musik latar juga cukup mendukung ketegangan, meski kadang agak berlebihan menekan emosi penonton.
4. Kelebihan
- Akting Kangana Ranaut yang solid.
- Cerita yang mengangkat salah satu bab sejarah penting.
- Keberanian menyentuh isu sensitif.
5. Kekurangan
- Narasi terasa terlalu hitam-putih, seolah ingin melabeli Gandhi hanya sebagai diktator.
- Beberapa adegan terasa seperti propaganda politik, apalagi jika dikaitkan dengan posisi politik Kangana sekarang.
- Tidak terlalu memberi ruang bagi perspektif alternatif, misalnya dari pihak masyarakat biasa.
Kesan Pribadi
Sebagai penonton, saya keluar dari film ini dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, saya kagum dengan keberanian film ini mengangkat topik yang selama ini cenderung “dihindari”. Saya juga suka bagaimana Kangana mampu menampilkan Indira Gandhi dengan kekuatan penuh. Meski saya sadar ada agenda politik terselip, saya tetap bisa menikmati aktingnya yang sangat kuat.
Namun di sisi lain, saya merasa film ini cenderung propaganda terselubung. Kangana saat ini memang dikenal dekat dengan partai yang berkuasa di India, yang notabene adalah rival utama Kongres (partai Indira Gandhi). Jadi tidak heran jika film ini lebih condong menampilkan Gandhi secara negatif.
Buat saya, film ini lebih berhasil sebagai drama politik daripada dokumen sejarah. Ia membuka percakapan, tapi tidak memberikan jawaban utuh. Mungkin itu juga niat Kangana: membuat penonton bertanya-tanya, lalu mencari tahu sendiri.
Refleksi
Menonton Emergency membuat saya kembali berpikir: betapa rapuhnya demokrasi jika kekuasaan terkonsentrasi di tangan satu orang. Apa yang terjadi di India tahun 1975 bisa saja terulang di negara mana pun ketika penguasa merasa ancaman pada posisinya lebih penting daripada kebebasan rakyat.
Film ini juga mengingatkan saya bahwa sejarah tidak pernah benar-benar selesai. Ia terus ditafsir ulang sesuai dengan siapa yang memegang pena — atau kamera.
Penutup
Emergency bukan film yang sempurna. Ia penuh bias, terkadang terlalu berat sebelah, dan terasa seperti alat politik. Tapi justru di situlah menariknya: film ini memicu perdebatan, menghidupkan kembali ingatan tentang periode yang tidak boleh dilupakan.
Bagi yang ingin mengenal sejarah India, film ini bisa jadi pintu masuk, meski perlu dilengkapi dengan bacaan lain yang lebih netral. Bagi pecinta drama politik, film ini menyajikan ketegangan yang cukup memikat.
Dan bagi saya pribadi, Emergency adalah film yang layak ditonton, jika kita siap menyaring antara seni, sejarah, dan propaganda.
Jadi, bagaimana menurut kamu kalau sejarah kelam diangkat ke layar lebar, meski dengan aroma propaganda? Apakah tetap berguna sebagai pengingat, atau justru menyesatkan?