Ada dua jenis film horor di dunia ini: yang membuatmu menjerit ketakutan… dan yang membuatmu menatap jam, berharap waktu berjalan lebih cepat. Vicious (2025) jelas termasuk yang kedua.
Film ini seperti tamu yang datang membawa janji misteri, tapi malah duduk di ruang tamu, diam, dan menatapmu selama dua jam penuh tanpa menjelaskan apa-apa.

Padahal, premisnya tidak buruk sama sekali. Dakota Fanning—yang sudah membuktikan kemampuan aktingnya sejak kecil—kembali ke layar lebar lewat karakter bernama Polly, seorang perempuan yang hidupnya berantakan (dan rumahnya lebih parah lagi). Set desain film ini bahkan sudah cukup untuk menjelaskan bahwa Polly sedang berada di titik nadir hidupnya. Telepon berdering, pekerjaan terbengkalai, dan rasa putus asa yang menempel di dinding seperti jamur lembap.
Lalu datanglah seorang nenek misterius (Kathryn Hunter) yang mengetuk pintu. Polly, yang entah kenapa masih punya empati tersisa, memutuskan untuk menolongnya. Kesalahan fatal. Karena sang nenek meninggalkan sebuah kotak kecil berisi jam pasir—dan juga peringatan bahwa Polly akan mati.
Sebuah Ide Cemerlang yang Tersesat di Tengah Jalan
Dari sini, Vicious sebenarnya bisa jadi sesuatu yang istimewa.
Kotak itu menuntut “persembahan” yang terdiri dari tiga hal: sesuatu yang kau benci, sesuatu yang kau butuhkan, dan sesuatu yang kau cintai.
Kedengarannya seperti metafora keren untuk perjalanan batin atau penebusan diri, bukan?
Sayangnya, film ini kemudian mengambil jalur berbeda—jalur lambat, berkelok, dan penuh kabut.
Bayangkan kamu menunggu sesuatu terjadi selama 30 menit, hanya untuk menyadari bahwa filmnya pun tidak tahu apa yang sedang ditunggu. Misterinya terlalu lama disembunyikan hingga kehilangan daya pikatnya.
Alih-alih menegangkan, Vicious malah terasa seperti tugas kelompok yang dikerjakan tanpa ketua.
Dan ketika akhirnya film mulai bergerak, itu pun tidak menuju tempat yang menarik.
Kita tidak tahu siapa yang menyerang Polly, kenapa ia dipilih, atau apa akibat dari “persembahan” itu. Misterinya bukan membuat penasaran, tapi membingungkan.
Ketika Horor Berubah Jadi Penyiksaan Diri
Bagian paling menyakitkan bukanlah adegan berdarahnya, tapi kenyataan bahwa Vicious perlahan berubah menjadi torture porn yang membosankan.
Mulai dari “pengorbanan” kedua, Polly dipaksa mengalami hal-hal ekstrem—termasuk memotong jarinya sendiri—tanpa penjelasan emosional yang kuat. Entitas dari dalam kotak memang membuat bulu kuduk berdiri, tapi setelah beberapa saat, semua terasa seperti repetisi tanpa arah.
Film ini berusaha keras menakutkan, tapi malah kehilangan jiwa.
Ibarat seseorang yang berteriak di ruangan kosong—keras, tapi tidak ada gema yang kembali.
Depresi, Simbolisme, dan Pesan yang Tenggelam
Bisa dibilang, Vicious berniat baik. Ia ingin bicara tentang depresi, rasa bersalah, dan cara menghadapi diri sendiri.
Dan jujur saja, bagian pertama film cukup berhasil menyampaikan itu. Tapi di tengah jalan, semua pesan itu lenyap—terkubur di antara pacing lambat dan naskah yang tersesat.
Saat film akhirnya memunculkan plot twist di akhir, rasanya seperti seseorang baru menjelaskan peraturan permainan setelah pertandingan selesai. Kita hanya bisa berkata, “Oh, jadi itu maksudnya?” sambil menatap layar tanpa semangat.
Dakota Fanning: Berlian di Tengah Reruntuhan
Kalau ada satu alasan Vicious masih bisa ditonton tanpa frustrasi total, itu karena Dakota Fanning.
Ia tampil dengan ekspresi kompleks yang bisa berubah dari ketakutan menjadi keputusasaan hanya lewat sorot mata. Bahkan sebelum ia berbicara, kita sudah tahu betapa rusaknya batin Polly. Fanning membuat karakter ini terasa nyata—rapuh tapi tetap bertahan.
Masalahnya, akting hebat sendirian tidak bisa menambal naskah yang bocor dari segala arah.
Dengan sedikit karakter lain dan tempo yang merayap, bahkan kemampuan Fanning pun perlahan tenggelam dalam kelesuan cerita.
Akhir yang Terasa Seperti Hukuman
Dan jika kamu berpikir semua itu sudah cukup buruk—tunggu sampai film ini masuk ke babak akhir.
Ketika seharusnya sudah selesai, ternyata masih ada 30 menit lagi yang terasa seperti tiga jam.
Klimaksnya tidak menggetarkan, twist-nya tidak menggigit, dan penutupnya... yah, mari kita katakan saja: bahkan jam pasir di dalam kotak itu pun mungkin sudah bosan menunggu.
Kesimpulan: Vicious yang Tak Sekejam Judulnya
Ironisnya, Vicious tidak sekejam yang dijanjikan judulnya.
Film ini bukan monster menakutkan, melainkan makhluk bingung yang tersesat di antara ide-ide bagus dan eksekusi buruk.
Ia punya pesan yang ingin disampaikan—tentang kehilangan dan penebusan—tapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
Yang tersisa hanyalah rasa frustrasi dan satu pertanyaan besar:
Bagaimana mungkin film dengan Dakota Fanning, set desain yang kuat, dan premis horor psikologis bisa terasa… kosong?
Mungkin karena, seperti karakter utamanya, Vicious juga sedang berjuang menghadapi dirinya sendiri. Dan sayangnya, ia kalah.
Informasi Tambahan Film
- Judul: Vicious
- Tahun Rilis: 2025
- Sutradara: Bryan Bertino
- Pemeran: Dakota Fanning, Kathryn Hunter, Oliver Finnegan
- Genre: Horor, Misteri, Psikologis
- Durasi: ±120 menit
- Distributor: Sony Pictures / Screen Gems