Kadang saya suka heran, kenapa pelatih timnas kita selalu diperlakukan seperti karakter di sinetron: datang disambut bunga, pulang dilempar sandal. Kalau saya jadi Shin Tae Yong, jujur saja — saya juga ogah balik. Pergi saat nama saya dielu-elukan, lalu kembali di saat semua orang sudah lupa bagaimana susahnya membangun fondasi, itu bukan nostalgia… itu jebakan batman.

STY meninggalkan timnas saat performa sedang bagus. Rasionalnya, itu waktu terbaik untuk pamit dengan elegan. Tapi kalau dipanggil lagi ke meja panas yang sama, dengan ekspektasi berlipat dan tekanan sosial media yang tidak pernah libur, hasilnya bisa fatal. Kalau gagal sedikit, orang akan bilang: “Dulu hebat karena hoki, sekarang sudah ketahuan aslinya.” Nah, buat karier seorang pelatih, itu sama aja kayak bunuh diri pelan-pelan.
Bernardo Tavares: Pelatih Sementara, Tapi Bukan Pengisi Waktu
Kita sering menganggap pelatih sementara itu cuma “penjaga kursi panas”. Tapi kalau orangnya Bernardo Tavares, situasinya beda.
Dia bukan datang untuk sekadar mengisi waktu, tapi untuk menata ulang fondasi.

Tavares jadi pelatih sementara timnas senior, tapi juga memegang proyek jangka menengah: membimbing tim kelompok umur (21–23 tahun) — fase paling rawan dalam perjalanan pemain Indonesia. Di usia itu, banyak pemain kehilangan arah: belum cukup matang untuk senior, tapi sudah terlalu tua untuk disebut “bibit”.
Nah, di tangan Tavares, kelompok ini bisa jadi jembatan emas. Ia bisa menanamkan karakter, disiplin, dan pemahaman taktik modern yang kemudian bisa langsung menetes ke tim senior. Jadi walau statusnya “sementara”, perannya justru strategis. Dia bukan sekadar pelatih transisi, tapi arsitek kesinambungan.
Langkah Berikutnya: Pelatih Eropa, Tapi yang Waras
Nah, setelah era transisi Tavares berjalan dan tim kembali stabil, barulah tongkat estafet bisa diserahkan ke pelatih bergaya Eropa modern.
Bukan yang datang dengan CV sehalaman penuh jargon taktik, tapi yang benar-benar tahu cara mengembangkan tim nasional, bukan mengeluh soal jadwal liga.
Nama-nama seperti Jesus Casas dan Timur Kapadze jadi ideal di tahap ini. Casas bisa memberi struktur dan kontrol permainan. Kapadze, dengan gaya 3 bek cairnya, bisa membuat tim bermain dinamis dan agresif tanpa kehilangan keseimbangan.

Keduanya memahami sepak bola sebagai sistem, bukan sekadar formasi.
Dan dengan pondasi yang sudah disiapkan Tavares, pekerjaan mereka jadi melanjutkan, bukan mengulang.
Tentang Formasi: 3-4-1-2 Itu Menyerang, Bung!
Banyak yang alergi mendengar “tiga bek”, seolah itu sinonim dari parkir bus. Padahal 3-4-1-2 justru sistem paling ofensif kalau dijalankan dengan niat. Dua wingback jadi senjata utama serangan, gelandang serang jadi otak permainan, dan tiga bek tengah memberi rasa aman untuk membangun dari bawah tanpa panik.
Formasi ini bukan parkir bus — tapi parkir di bahu jalan, sambil mesin tetap nyala, siap tancap gas kapan saja. Dengan karakter pemain Indonesia yang cepat, improvisatif, tapi kadang kurang disiplin, sistem 3-4-1-2 bisa jadi solusi: terstruktur tanpa membunuh kreativitas.
Kesimpulan: Jangan Gonta-Ganti Pelatih, Gonta-Ganti Logika Saja
Sepak bola Indonesia itu seperti drama panjang tanpa sutradara tetap. Setiap ganti pelatih, ganti juga filosofi dan janji manisnya. Padahal yang kita butuh bukan revolusi dadakan, tapi kesinambungan dan sedikit… akal sehat.
Kalau saya jadi direktur teknis PSSI? Mungkin saya sudah kabur duluan, sebelum diserang tagar #Out di Twitter. Tapi sebelum kabur, saya akan tinggalkan catatan kecil di meja kerja:
“Bangun sistemnya, bukan kultusnya. Hargai proses, bukan hasil viralnya. Dan tolong, jangan salah paham lagi soal formasi tiga bek.”
Kita tidak butuh pahlawan baru, kita butuh fondasi baru. Dan kalau semua ini terdengar terlalu idealis, ya maklum… namanya juga mimpi seorang calon direktur teknis yang belum sempat diangkat.