Beberapa waktu lalu, saya tanpa sengaja mendengar ceramah dari seorang ustaz ngapak asal Kebumen di sebuah radio. Ngomongnya santai, logatnya khas, tapi ucapannya bikin kepala saya berhenti berpikir sejenak. Katanya begini:

“Kalau dihitung-hitung, dari sejak akil baligh sampai saiki, awakmu luwih akeh turune ketimbang ibadahé.”

Saya ketawa kecil waktu itu. Tapi setelah pulang, saya malah diam lama.

Jangan-jangan, ustaz ini benar-benar membongkar rahasia hidup manusia modern — kita ini makhluk yang paling rajin tidur di dunia, cuma kalah produktif sama kasur dan bantal.

Antara Tidur dan Ibadah: Hitungan yang Bikin Merinding (dan Sedikit Ketawa)

Coba Hitung Dikit

Oke, mari kita serius sebentar.

Kata ustaz, coba hitung waktu sejak akil baligh. Misalnya umur sekarang 45 tahun, dan mulai baligh di usia 15 tahun — berarti kita punya 30 tahun masa aktif jadi manusia sadar dan bertanggung jawab.

Selama itu, kita tidur 6–8 jam sehari.
Kalau dikalikan, ternyata:

  • 6 jam × 365 hari × 30 tahun = 65.700 jam, alias 7,5 tahun tidur.
  • 8 jam × 365 hari × 30 tahun = 87.600 jam, alias 10 tahun tidur.

Jadi, dari 30 tahun hidup, kita sudah tidur 7–10 tahun.

Belum termasuk rebahan setelah subuh dan sebelum isya. Itu bonus waktu kontemplatif katanya — alias males tapi spiritual.

Lalu Waktu Ibadah?

Shalat lima waktu, rata-rata 7–10 menit sekali. Ambil tengahnya saja 9 menit, dikali 5 waktu = 45 menit, alias 0,75 jam sehari.
Tambah ibadah lain — baca Qur’an, dzikir, ngaji, dan sedikit “me time rohani” — total 1 jam lagi.

Berarti sehari kira-kira 1,75 jam ibadah.

Kalikan 365 hari × 30 tahun = 19.162 jam, atau sekitar 2,2 tahun ibadah penuh.

Kesimpulannya?

Kita tidur 7–10 tahun,
dan ibadah sungguh-sungguh cuma 2 tahun lebih dikit.

Itu pun, kalau nggak bolong-bolong.
Kalau realitanya suka ketiduran pas isya dan kesiangan subuh, ya bisa jadi “rugi waktu ibadah” makin tipis — mungkin tinggal 1 tahun bersih.

Ironi di Dunia yang Sibuk

Lucunya, kita sering merasa sibuk banget.

Padahal kalau diurai, ternyata waktu sibuk itu banyak terselip di antara dua kegiatan mulia: tidur dan menunda-nunda.

Kita tidur karena capek kerja, kerja biar bisa hidup enak, dan hidup enak sering artinya punya kasur empuk dan waktu tidur lebih lama.

Lingkaran setan, tapi empuk.

Coba bayangkan, di usia 45 tahun, seseorang sudah tidur hampir seperempat umur hidupnya. Kalau nanti diberi umur 60 tahun, total waktu tidur bisa menyentuh 15–20 tahun. Bayangkan, seperempat abad cuma untuk pejam mata.

Dan parahnya, waktu shalat lima menit kadang terasa lama banget.

Padahal waktu scroll TikTok sepuluh menit berasa “baru bentar.”

Waktu: Barang Paling Demokratis di Dunia

Ustaz itu pernah bilang juga, “Allah adil. Semua orang dikasih waktu yang sama: 24 jam. Tapi hasilnya beda-beda.”

Ada yang dalam 24 jam itu bisa jadi berkah, ada yang cuma jadi tidur siang berkedok tafakur.

Dan memang begitu kenyataannya.

Kita sering merasa sibuk mencari rezeki, sibuk mengejar target, sibuk mikir masa depan — tapi jarang merasa sibuk mikir akhirat.

Padahal, kalau ditukar ke jam kerja, kita sedang menabung 2 tahun ibadah untuk menghadapi keabadian.

Kurang modal, kan?

Tapi Jangan Salah Kaprah

Tidur bukan berarti dosa.

Bahkan, kalau diniatkan dengan benar, tidur itu juga ibadah. Nabi ﷺ sendiri tidur, para sahabat pun istirahat. Tapi bedanya, mereka tidur setelah selesai tugas, bukan sebelum mulai niat.

Jadi masalahnya bukan pada tidurnya, tapi pada niat di balik semua waktu yang kita habiskan.

Kalau tidur biar segar buat shalat malam, itu ibadah.
Kalau tidur karena malas mikir hidup, itu pelarian.
Kalau tidur karena bosan dengan realita, itu drama.

Sedikit Satir untuk Kita Sendiri

Kadang saya membayangkan, kalau umur manusia diakumulasi seperti laporan keuangan akhirat, mungkin tampilannya begini:

Aktivitas Total Waktu Keterangan
Tidur 10 tahun “Produktif di alam mimpi”
Bekerja 15 tahun “Mengumpulkan uang buat bayar Wi-Fi dan kopi”
Main HP 5 tahun “Scroll tanpa hasil tapi penuh hikmah”
Ibadah 2 tahun “Cicilan menuju surga”
Lain-lain Sisa umur “Entah ngapain”

Lucu, tapi nyesek juga kalau dipikir serius. Karena ternyata kita hidup lama, tapi sadar cuma sebentar.

Menyadari Sebelum Terlambat

Waktu berjalan diam-diam.

Tak ada suara lonceng yang mengingatkan bahwa jam ibadah sudah menipis. Tak ada notifikasi dari malaikat yang bilang, “Waktumu tinggal segini, buruan perbaiki niatmu.”

Yang ada hanyalah rutinitas yang terasa normal — bangun, kerja, tidur, ulangi lagi. Sampai tiba-tiba, umur 45 sudah lewat. Dan kita baru sadar: “Lho, kok cepat banget ya?”

Barangkali karena sebagian besar perjalanan itu kita lalui dalam posisi tidur.

Penutup: Antara Tidur dan Kesadaran

Saya bukan mau menyalahkan siapa-siapa, apalagi sok suci.

Saya cuma ingin mengingatkan diri sendiri — bahwa kalau waktu tidur kita sampai mengalahkan waktu ibadah, mungkin bukan berarti kita malas. Bisa jadi kita hanya lupa menyadari nilai waktu.

Ustaz dari Kebumen itu menutup ceramahnya dengan kalimat sederhana tapi dalam:

“Sing penting, ojo mung turu, ning uga kudu eling. Yen kabeh kowe niatke lillāh, turu wae dadi ibadah.”

Artinya:

“Yang penting, jangan cuma tidur, tapi juga ingat (kepada Allah). Kalau semua kau niatkan karena Allah, tidur pun bisa jadi ibadah.”

Dan mungkin di situlah kuncinya — bukan soal berapa lama kita tidur, tapi seberapa sadar kita hidup.

Karena pada akhirnya, yang dibawa bukan jam, tapi niat di setiap jam yang kita habiskan.