Ketika Singa Mengajarkan Manusia Arti Cukup

Malam tadi saya duduk bersama seorang kawan, menonton tayangan di Animal Channel. Saluran itu kebetulan sedang menayangkan dokumenter tentang kehidupan di padang savana Afrika — hamparan luas yang gersang, namun menyimpan keseimbangan hidup yang luar biasa. Di layar, seekor singa jantan tampak mengendap, diikuti oleh tiga singa betina yang bergerak dalam formasi teratur. Mereka mengejar kawanan sapi hutan yang sedang merumput di tepi sungai kering.

Empat singa itu tidak terburu-buru. Mereka menunggu, menimbang arah angin, memperhatikan gerak mangsa mereka dengan kesabaran yang mengagumkan. Begitu tiba waktunya, salah satu singa betina melesat, diikuti yang lain. Adegan itu berlangsung cepat, penuh tenaga, namun tidak membabi buta. Dalam hitungan detik, satu sapi hutan terjerat dalam cakar mereka. Satu ekor saja. Yang lain dibiarkan kabur.

Saya menatap layar tanpa berkata apa-apa. Entah mengapa, ada sesuatu yang menenangkan dari pemandangan itu. Di tengah kerasnya perburuan, saya justru melihat ketertiban. Tidak ada pembantaian, tidak ada amarah. Hanya naluri yang berjalan sebagaimana mestinya.

Kawan saya yang duduk di sebelah tiba-tiba berkomentar, dengan nada setengah bercanda namun terasa serius,

“Itu kalau ketemu manusia, tidak hanya satu yang ditangkap. Semua akan ditangkap. Dasar manusia memang paling serakah.”

Saya hanya tersenyum. Tapi di dalam hati, saya tahu kalimat itu menancap dalam. Saya tidak bisa menyangkalnya. Manusia sering kali memang begitu — mengambil lebih dari yang dibutuhkan, bahkan dari yang seharusnya tidak disentuh.

Singa hanya berburu secukupnya. Mereka tidak akan membunuh sepuluh ekor sekaligus, hanya untuk kemudian membiarkannya tergeletak sia-sia. Satu ekor cukup untuk makan bersama kelompoknya. Satu hasil buruan bisa membuat mereka kenyang selama beberapa hari. Setelah itu, mereka beristirahat, memberi kesempatan alam untuk memulihkan diri.

Kita, manusia, justru kerap merasa belum puas meski sudah punya banyak. Kita bekerja keras bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk terus menumpuk — uang, barang, pujian, bahkan kekuasaan. Seolah-olah rasa cukup adalah sesuatu yang memalukan.

Saya jadi teringat perbincangan lain beberapa waktu lalu tentang hutan yang gundul di Kalimantan. Ribuan hektar pohon ditebang dalam waktu singkat, bukan karena kayunya dibutuhkan untuk bertahan hidup, tapi untuk memperkaya segelintir orang. Alam yang tadinya hijau kini berubah menjadi tanah tandus, kehilangan naungan dan kehidupan. Begitu pula lautan yang penuh dengan kapal penangkap ikan raksasa; mereka menyapu bersih segalanya, tanpa menyisakan ruang bagi ikan-ikan kecil untuk tumbuh. Semua diambil, semua dimiliki, seolah dunia tidak perlu bernapas lagi.

Saya kemudian teringat lagi pada para singa di layar televisi malam itu. Mereka tidak memiliki pabrik, tidak punya tempat penyimpanan daging, tidak punya logistik untuk masa depan. Tapi mereka bertahan selama ribuan tahun, karena tahu satu hal penting: hidup cukup dengan secukupnya.

Kata “secukupnya” terdengar sederhana, tapi sesungguhnya itulah kunci keseimbangan hidup. Banyak orang mengejar kesempurnaan dan kekayaan tanpa ujung, tapi melupakan ketenangan yang datang dari rasa cukup. Kadang, kita bekerja mati-matian bukan karena kekurangan, tapi karena takut terlihat kurang. Padahal, rasa cukup tidak datang dari seberapa banyak yang kita miliki, tapi dari kemampuan untuk menghentikan diri ketika sudah cukup.

Saya sendiri sering merasakannya dalam hal kecil. Saat berbelanja, misalnya. Ada momen ketika saya membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ingin. Ingin merasa mampu, ingin merasa punya, ingin dianggap tidak ketinggalan. Tapi setiap kali barang itu akhirnya menumpuk di rumah, saya sadar bahwa yang saya beli bukan kebutuhan, melainkan perasaan sesaat. Dan lucunya, perasaan itu cepat sekali hilang.

Kita hidup di zaman yang mendorong kita untuk selalu ingin lebih. Iklan, media sosial, bahkan lingkungan sekitar membuat “lebih banyak” terdengar seperti satu-satunya ukuran keberhasilan. Sementara kata “cukup” terdengar seperti kekalahan. Padahal, justru di sanalah letak kebijaksanaan hidup. Orang yang tahu kapan harus berhenti, adalah orang yang paling menguasai dirinya sendiri.

Singa berhenti setelah mendapatkan satu ekor mangsa, karena ia tahu: kalau membunuh lebih dari itu, tubuhnya tidak sanggup memakan semua. Alam sudah mengatur keseimbangan itu dengan sangat adil. Namun manusia, dengan otaknya yang cerdas, sering kali menganggap dirinya lebih tinggi dari hukum alam. Kita menciptakan alasan untuk terus mengambil, seolah bumi adalah gudang tanpa batas.

Padahal, setiap hal yang diambil berlebihan akan berbalik pada kita. Hutan yang ditebang berlebihan menimbulkan banjir dan kekeringan. Laut yang dijarah tanpa henti kehilangan ekosistemnya. Udara yang kita hirup makin kotor karena kita terus ingin memiliki kendaraan lebih banyak. Semua berawal dari satu hal yang sama: ketidakmampuan kita untuk berkata “cukup.”

Saya jadi berpikir, mungkin benar bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa membuat dirinya sendiri menderita karena keinginannya sendiri. Binatang tidak akan menimbun makanan hingga membusuk. Mereka makan saat lapar, beristirahat saat kenyang. Tidak ada keserakahan di sana. Tidak ada rasa takut kekurangan yang membuat mereka kehilangan arah.

Kata “secukupnya” akhirnya terasa seperti doa yang sederhana tapi dalam. Ia tidak menuntut kita untuk miskin, tapi mengingatkan agar tidak berlebihan. Ia bukan tentang menolak kemajuan, tapi tentang tahu batasnya. Hidup secukupnya bukan berarti menyerah, tapi berarti memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari “lebih banyak”, melainkan dari “cukup.”

Saya teringat pada satu kutipan lama yang entah siapa penulisnya:

“Manusia modern memiliki jam tangan, tapi tidak punya waktu.”
Anonim

Begitu juga dengan banyak hal lain — kita punya rumah besar, tapi tidak pernah merasa betah di dalamnya. Kita punya banyak makanan, tapi tak benar-benar menikmatinya. Semua serba banyak, tapi tak pernah cukup.

Malam itu, setelah tayangan selesai, saya masih duduk termenung di depan televisi yang kini menayangkan iklan detergen. Pikiran saya melayang pada seekor singa yang tidur di bawah pohon setelah puas makan satu ekor sapi hutan. Ia tidak berpikir tentang perburuan besok, tidak merasa bersalah, tidak juga merasa perlu menambah. Ia hanya beristirahat. Dan mungkin, dalam diamnya itu, ia lebih damai daripada banyak manusia di dunia ini.

Kawan saya yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya menatap saya dan berkata ringan, “Lha, kamu kok melamun?” Saya hanya tersenyum lagi. Sulit menjelaskan bahwa di balik tayangan singkat itu, ada pelajaran hidup yang menampar halus: bahwa kecerdasan tidak selalu berbanding lurus dengan kebijaksanaan, dan bahwa sering kali, yang paling bijak justru mereka yang hidup dengan secukupnya.

Malam itu saya belajar sesuatu yang mungkin seharusnya sudah lama saya pahami. Bahwa hidup tidak selalu tentang menaklukkan lebih banyak hal, tapi tentang menikmati apa yang sudah ada di genggaman. Bahwa rasa cukup adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur.

Dan mungkin, kalau saja manusia mau belajar sedikit dari cara singa berburu, dari cara alam menjaga keseimbangannya sendiri, dunia ini tidak akan sesemrawut seperti sekarang. Mungkin kita akan lebih tenang, lebih damai, dan lebih manusiawi — hanya dengan satu kata sederhana: secukupnya.