Bagaimana Film dan Game Membentuk Cara Pandangku tentang Dunia
Saya pernah berpikir bahwa film dan game hanya hiburan. Sesuatu yang dinikmati untuk melarikan diri dari dunia nyata yang sering kali rumit dan menyesakkan.
Tapi semakin sering saya menonton, bermain, dan merenung, saya sadar: film dan game tak sekadar pelarian. Mereka cermin. Mereka jendela. Bahkan, kadang mereka peta — yang membantu kita memahami dunia, dan diri sendiri, dengan cara yang tak diajarkan di bangku sekolah.
Berikut ini adalah bagaimana film dan game, diam-diam, membentuk cara pandangku tentang dunia.
Film: Emosi, Realitas, dan Kemanusiaan
1. The Pursuit of Happyness – Tentang Bertahan Meski Terjatuh
Film ini memberiku satu pesan sederhana tapi dalam: harapan tidak dijual di toko mana pun, tapi bisa tumbuh di hati yang keras kepala.
Dunia ini tidak adil. Tidak semua orang mulai dari garis start yang sama. Tapi seperti tokoh Chris Gardner, saya belajar bahwa menyerah tidak pernah jadi pilihan, bahkan saat satu-satunya hal yang tersisa hanyalah keyakinan.
2. Parasite – Kelas Sosial Tak Pernah Terlihat, Tapi Terasa
Saya tak pernah begitu memikirkan tentang kesenjangan sosial… sampai menonton Parasite.
Film ini bukan cuma tentang si kaya dan si miskin. Tapi tentang ruang tak terlihat yang memisahkan manusia — bukan cuma harta, tapi juga rasa malu, harga diri, dan jarak psikologis yang sulit dijembatani.
Setelah menontonnya, saya mulai lebih peka terhadap siapa yang sering kali "tak terlihat" dalam hidup sehari-hari.
3. Interstellar – Waktu, Rindu, dan Ketakutan Akan Kehilangan
Dari semua petualangan luar angkasa yang pernah kutonton, Interstellar yang paling menyentuh. Bukan karena teknologinya, tapi karena kerinduannya.
Film ini mengajarkan bahwa waktu adalah sumber daya paling mahal. Dan bahwa cinta — betapapun tak ilmiahnya — bisa jadi kompas saat logika tak lagi bisa diandalkan.
Game: Strategi, Kepemimpinan, dan Keputusan
1. Rise of Kingdoms – Kepemimpinan Bukan Sekadar Kekuatan
Saya memainkan Rise of Kingdoms awalnya hanya karena suka game strategi. Tapi perlahan, saya belajar hal-hal yang jauh melampaui layar ponsel ini.
Memimpin pasukan, membangun peradaban, merancang aliansi, hingga menahan ego pribadi — semua itu mengajarkan kepemimpinan yang sesungguhnya. Ternyata, menjadi pemimpin tak selalu soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling bisa bertahan, beradaptasi, dan mengayomi.
2. Manajemen Waktu dan Prioritas
Saat kamu punya sumber daya terbatas dan banyak pilihan (naikkan komandan, upgrade kastil, perkuat aliansi), kamu belajar satu hal penting: memilih.
Setiap keputusan dalam RoK mengajarkan bahwa tidak semua hal bisa dikejar sekaligus. Dan terkadang, menunggu dengan sabar lebih strategis daripada menyerang tanpa rencana.
3. Aliansi dan Diplomasi
Salah satu hal yang membuatku terus main bukan cuma pertarungannya, tapi bagaimana kita harus bisa membangun kepercayaan antar pemain.
Di dunia nyata pun, sering kali kita butuh bekerja sama dengan orang yang tidak kita kenal. Rise of Kingdoms melatihku untuk mendengarkan, berkompromi, bahkan memimpin dalam suasana yang serba cair — tanpa kehilangan tujuan.
Apa yang Aku Pelajari dari Keduanya
Film mengasah rasa. Game mengasah logika. Dan keduanya, kalau dipadukan, mengajarkan bahwa dunia ini tidak hitam-putih.
Kadang, keputusan yang kamu ambil tak hanya memengaruhi dirimu sendiri, tapi juga orang lain. Kadang, apa yang tampak "buruk" dalam sebuah film justru punya alasan yang dalam. Dan kadang, untuk menang dalam game, kamu harus belajar kapan untuk tidak menyerang.
Saya kini memandang dunia tidak lagi hanya sebagai tempat tinggal — tapi sebagai medan pertempuran, ruang belajar, dan panggung cerita. Tempat di mana emosi, keputusan, dan relasi membentuk siapa kita sebenarnya.
Penutup
Saya tak tahu apakah semua orang punya pengalaman serupa. Tapi bagi saya, film dan game telah menjadi dua guru yang unik. Mereka tidak menguliahi, tapi mengajak bertanya. Tidak memaksa percaya, tapi membiarkan kita menemukan maknanya sendiri.
Dan yang lebih ajaib, mereka melakukannya tanpa saya sadari.