
Saya tidak bisa mendengar kata “Hom-pim-pah” tanpa merasa ada aliran kenangan yang hangat di dada. Kata-kata itu menjadi semacam pintu yang membawa saya kembali ke masa kecil, ke depan TV hitam putih di rumah bapak, ketika Si Unyil membuka acaranya dengan lagu pembuka yang melekat selamanya.
Lagu-lagu anak di era TVRI bukan sekadar hiburan. Mereka adalah medium emosi, nilai, dan memori. Mereka mengajari saya tentang persahabatan, keberagaman, disiplin, dan kadang kesedihan dalam bahasa yang sangat sederhana namun penuh daya sentuh.
Lagu Sebagai Tulang Punggung Narasi Visual
Dalam tayangan seperti Si Unyil, musik bukan pelengkap—ia adalah elemen sentral. Lagu pembuka dan penutup tidak hanya menyampaikan nuansa ceria, tapi juga menjadi jangkar emosional. Anak-anak tahu bahwa petualangan Unyil akan dimulai ketika lagu itu dimainkan. Dan begitu nada terakhir terdengar, ada rasa kehilangan kecil yang membuat kita menunggu minggu berikutnya.
Musik bekerja seperti parfum kenangan: meskipun kita tak lagi ingat semua liriknya, iramanya tetap hidup dalam ingatan.
Contoh lainnya adalah acara Boneka Si Komo yang punya lagu pembuka khas:
“Si Komo lewat, si Komo lewat…”
Nada-nada ini membentuk lanskap emosional masa kecil saya. Mereka tidak kompleks secara musikal, tapi kuat secara emosional.
Edukasi Lewat Musik: Dari Nada ke Nilai
Lagu anak di era TVRI juga menyisipkan nilai pendidikan secara halus:
- Lagu tentang gotong royong, persahabatan, menjaga kebersihan.
- Musik yang mengajarkan pola pikir positif, rasa hormat kepada orang tua, dan semangat belajar.
Misalnya, lagu anak yang pernah saya dengar waktu itu:
“Bangun tidur ku terus mandi / tidak lupa menggosok gigi…”
Lirik yang sederhana ini menjadi semacam *ritual internal* bagi anak-anak. Kita tidak sekadar menyanyi, tapi mengikuti isi lagunya dalam kehidupan nyata.
Dari Lirik Bermakna ke Musik Viral: Apa yang Berubah?
Ketika saya melihat dunia anak sekarang, saya kadang merasa sedih. Musik mereka didominasi oleh audio viral di TikTok—irama cepat, repetitif, dan tidak selalu mengandung nilai. Ada lirik yang absurd, gerakan yang lucu tapi kosong makna.
Perubahan ini bukan sepenuhnya salah. Zaman berubah. Teknologi juga memberikan ruang ekspresi yang luas. Tapi saya khawatir bahwa musik anak sekarang tidak lagi menjadi medium pembentukan karakter, melainkan sekadar pengiring tarian algoritma.
Perbandingan: Musik Anak Dulu vs Sekarang
Berikut gambaran perbandingannya:
Aspek | Lagu Anak Era TVRI | Lagu Viral Digital Modern |
---|---|---|
Lirik | Edukatif, sederhana, bermakna | Repetitif, sering absurd |
Fungsi | Edukasi, identitas budaya | Hiburan instan |
Emosi | Sentimental, menyentuh | Hiperaktif, cepat hilang |
Durasi ingatan | Menempel lama | Mudah dilupakan |
Visual | Didukung karakter tokoh | Klip acak & trend gerakan |
Musik dan Ingatan Kolektif
Saya percaya bahwa lagu-lagu masa kecil membentuk bagian dari ingatan kolektif generasi tertentu. Ketika saya bertemu teman-teman seangkatan, sering kali obrolan nostalgia dimulai dengan:
“Kamu masih ingat lagu pembuka Unyil nggak?”
Dan walau kami lupa sebagian lirik, nada-nadanya tetap menghuni ruang sunyi di dalam kepala kami.
Musik memiliki kekuatan untuk membentuk:
- Identitas generasi
- Koneksi emosional lintas waktu
- Kebiasaan hidup dan nilai pribadi
Perlukah Kita Membuat Lagu Anak yang Baru?
Menurut saya: Iya. Kita butuh lagu-lagu anak yang:
- Mengandung nilai dan narasi lokal
- Menggunakan bahasa yang sederhana tapi bermakna.
- Didukung visual karakter yang membumi.
Bukan berarti kita harus kembali ke format TVRI sepenuhnya. Tapi kita bisa:
- Mendorong kreator lokal menulis lagu anak dengan pendekatan modern tapi sarat nilai.
- Mengintegrasikan musik anak dalam konten YouTube atau podcast.
- Membuat platform musik edukatif untuk orang tua dan anak.
Bayangkan anak-anak hari ini menyanyikan lagu tentang menjaga hutan, mencintai bahasa daerah, atau menghargai perbedaan sambil tertawa dan bergerak.
Menulis Lagu Anak: Bukan Hal Sepele
Saya pernah mencoba menulis lirik untuk cerita anak, dan saya menyadari bahwa membuat lagu anak bukan soal menulis lirik lucu. Ia butuh:
- Sensitivitas terhadap psikologi anak
- Keseimbangan antara makna dan hiburan
- Kekuatan musikal yang mudah diingat
Mungkin saya tidak akan jadi pencipta lagu anak profesional, tapi saya ingin menyuarakan semangatnya—bahwa musik bisa jadi alat transformasi sosial, bahkan mulai dari telinga anak kecil.
Penutup: Nada yang Menanam Ingatan
Lagu anak di era TVRI telah menanamkan banyak hal dalam diri saya: kedisiplinan, rasa hangat keluarga, dan cinta terhadap budaya lokal. Meski saya tidak bisa mengulang masa itu, saya bisa mengingat dan meneruskan semangatnya—lewat tulisan, cerita, atau mungkin suatu hari, lagu saya sendiri.
Dan ketika suatu saat saya mendengar “Hom-pim-pah alaiyum gambreng,” saya tahu: itu bukan sekadar bunyi pembuka acara boneka. Itu adalah musik masa kecil saya, dan bagian dari jiwa saya.
Topik terkait: #identitas budaya, #lagu anak Indonesia, #musik era 80-an, #nostalgia TVRI, #Si Unyil