
Sebuah refleksi pribadi tentang budaya menonton TV di desa era 80-an, dari antena yang diputar hingga suasana nonton bareng tetangga.
Di masa kecil saya, televisi bukan benda biasa—ia adalah jendela dunia, sebuah benda sakral yang hanya dimiliki oleh segelintir rumah di desa. Ketika bapak saya membeli TV hitam putih, itu bukan sekadar alat hiburan, melainkan kebanggaan. Saya masih ingat suasana rumah saat TVRI menjadi satu-satunya saluran, dan semua orang rela membayar iuran bulanan demi tetap bisa menontonnya.
Setiap sore, tetangga datang membawa kursi lipat atau tikar dari rumah masing-masing. Anak-anak duduk di lantai, orang tua di belakang, semua terpaku pada layar kecil yang bergetar. Kadang, gambar terlihat kabur dan suara mendesis. Maka mulailah ritual memutar antena—naik ke atap, teriak dari bawah, “Sudah jelas belum?”—sebuah bentuk gotong royong yang sederhana namun penuh makna.
Hari Minggu adalah puncak segalanya. Saya bangun lebih pagi dari biasanya, tidak sabar menunggu Si Unyil muncul di layar. Aroma sarapan dari dapur, cahaya matahari yang lembut masuk dari jendela, dan suara khas pembukaan acara TVRI mengiringi momen penuh harapan. Saat Unyil dan kawan-kawan muncul, saya merasa seperti bertemu teman lama—meski mereka terbuat dari boneka, mereka sangat nyata di hati saya.
Momen-momen itu bukan sekadar menonton, tapi membangun ikatan keluarga dan komunitas. Di masa ketika tidak semua orang punya akses mudah ke hiburan, televisi menjadi pemersatu—dan saya bersyukur pernah merasakan hangatnya masa itu.
Topik terkait: #budaya desa, #kenangan masa kecil, #nostalgia TVRI, #Si Unyil, #tontonan anak-anak, #TV hitam putih